Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari
masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta
kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut
merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri.
Sekarang rasa nasionalisme dan kebangsaan sebagian
besar dari kita telah memudar, memudarnya rasa cinta terhadap tanah air ini
dilihat minimnya pemahaman remaja akan nilai-nilai budaya. Remaja sekang lebih
cenderung mengikuti budaya barat yang sangat jauh perbandingannya dengan norma
dan adat istiadat bangsa Indonesia.
Remaja sekarang lebih senang dengan hal-hal dan
produk-produk impor dibanding dengan produl lokal sendiri. Mereka bangga jika
menggunakan baju atau barang-barang dari merk luar negri. Mereka malu menggukan
roduk lokal yang mereka anggap produk lokal itu tidak mengikuti perkembangan
zaman.
Yang perlu diperhatikan lagi bahwa anak bangsa
sering lupa akan lagu kebangsaannya sendiri. Banyak lagu-lagu yang tidak dapat
meningkatkan rasa nasionalisme anak bangsa diputar dan di publis kan. Apabila
ditanya kepada anak bangsa mengenai “lagu favorit mereka ?” mereka tidak akan
menyebut lagu kebangsaanya tetapi menyebut lagu-lagu yang tidak memicu rasa
nasionalisme.
Dimana peran pemerintahan dalam menanggulangi hal
ini? Mereka perlu ditanamkan kembali rasa akan cinta tanah air dan bangga
dengan bangsanya sendiri. Inilah tugas pemerintah untuk membangkitkan rasa
nasionalisme yang tidak dimiliki oleh remaja. Meningkatkan kulaitas dan
kuantitas produk dan hl-hal yang menyangkut bangsa indonesia. Sehingga rasa
nasionalisme dari bangsa ini tidak pudar dan hilang dengan begitu saja.
Rapuhnya rasa kebanggaan bagi
bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh
menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pascakrisis.
Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh
kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan
bersama (social contract) yang mengandung nilai-nilai seperti
keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya menjadi wacana belaka.
Pemberantasan korupsi terhadap para koruptor kelas
kakap dan penegakan hukum dan keadilan yang sebenarnya sebagai sarana strategis
untuk membangkitkan semangat cinta tanah air dalam diri anak-anak bangsa,
tetapi semuanya tampak bohong belaka. Ini membuat generasi sekarang menjadi
gamang terhadap bangsa dan negaranya sendiri, ketidakpercayaan rakyat terhadap
negara menurun dan rasa cinta tanah air serta nasionalisme kaum pelajar
melapuk.
Bukan hal yang aneh jika semangat solidaritas dan
kebersamaan pun terasa semakin tenggelam sejak beberapa dekade terakhir. Boleh
jadi, penyebab dari memudarnya rasa nasionalisme ini juga disebabkan oleh
karena paradigma tentang bangsa dan nasionalisme yang kita anut, berjalan di
tempat.
Padahal, perkembangan nasional dan global menuntut
paradigma yang disesuaikan dari masa ke masa, sesuai dengan keadaan bangsa dan
negara yang berdaulat. Dari dalam itulah lahir kesadaran berbangsa dan
bernegara yang pada hakikatnya merupakan kesadaran politik yang normatif.
Dari sini pula kesadaran yang merupakan janin
suatu ideologi yang disebut nasionalisme. Dalam arti, nasionalisme sebagai
suatu paham yang mengakui kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa demi
kejayaannya seharusnya bersatu padu dan bertekad bulat dalam suatu kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dari nasionalisme inilah lahir ide dan usaha
perjuangan untuk mewujudkan negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti
ini berkembang kuat pada tahun 1930-an dan memuncak pada tahun 1940-an. Yang
kemudian menjadi problem besar di sini adalah, apakah tegaknya suatu nation
yang pada hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik bernegara itu
dapat dilakukan tanpa landasan kultur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Pertanyaan ini perlu diperhatikan dan dijawab.
Sebab, tantangan yang paling berat bagi sebuah negara yang berdaulat
sesungguhnya adalah bukan terutama pada sikap ekspansif dari negara tetangga
seperti Malaysia dalam kasus Pulau Ambalat, tetapi lebih pada faktor kultur
atau pemeliharaan budaya, sikap hidup atau perilaku hidup sehari-hari, seperti
bagaimana kita menciptakan keadilan, perikemanusiaan dan lain-lain di dalam
bangsa dan negara sendiri. Akhirnya, harus diakui bahwa nasionalisme telah
merapuh. Cita-cita proklamasi kini ibarat gubug reyot yang siap roboh diterjang
angin. Untuk itu, baik pemerintah maupun warga negara seyogyanya bahu membahu mewujudkannya.
Karena, hanya dengan persatuanlah cita-cita proklamasi akan terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar