Ketika negara yang bernama Indonesia akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus
1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa Indonesia, persoalan ternyata
belum selesai. Bangsa Indonesia masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan
antara tahun 1945-1949, tatkala penjajah menginginkan kembali jajahannya.
Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik dan
politik divide
et impera Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, nasionalisme
bangsa masih terus diuji dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah
tanah air hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin, masalah
nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun digeser kembali
ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan, berakhir pula situasi ini
dengan terjadinya tragedi nasional 30 September 1965.
Pada masa Orde
Baru, wacana nasionalisme pun perlahan-lahan tergeser dengan
persoalan-persoalan modernisasi dan industrialisasi (pembangunan). Maka
"nasionalisme ekonomi" pun muncul ke permukaan. Sementara arus
globalisasi, seakan memudarkan pula batas-batas "kebangsaan", kecuali
dalam soal batas wilayah dan kedaulatan negara. Kita pun seakan menjadi warga
dunia. Di samping itu, negara mengambil alih urusan nasionalisme, atas nama
"kepentingan nasional" dan "demi stabilitas nasional"
sehingga terjadilah apa yang disebut greedy state, negara betul-betul
menguasai rakyat hingga memori kolektif masyarakat pun dicampuri negara. Maka
inilah yang disebut "nasionalisme negara" (Abdullah, 2001: 37-39).
Tahun 1998 terjadi Reformasi yang memporakporandak-an stabilitas semu yang dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin menggila.
Tahun 1998 terjadi Reformasi yang memporakporandak-an stabilitas semu yang dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin menggila.
Kasus Ambalat,
beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba menyeruakkan rasa nasionalisme kita,
dengan menyerukan slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Setahun terakhir
ini, muncul lagi "nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa
Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" diklaim sebagai budaya
negeri jiran itu. Semangat "nasionalisme kultural dan politik" seakan
muncul. Seluruh elemen masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari
luar. Namun anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika
peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme
kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita.
Fenomena yang membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah mencari keadilan di
negerinya sendiri, korupsi yang merajalela mulai dari hulu sampai hilir di
segala bidang, dan pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang
tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, penyalahgunaan
kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-menyuap, dan
lain-lain. Realita ini seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan
seabad yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus dibangkitkan
kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu.
Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan
untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur,
adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan
lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan
eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar