Tidak ada yang berani menyangkal bahwa Indonesia
merupakan satu- satunya negara kepulauan di dunia yang dianugerahi dengan
beragam kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Begitu banyak budaya daerah yang
tersebar di seluruh tanah air, yang kesemuanya itu bermuara menjadi budaya
nasional bangsa Indonesia. Perbedaan tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk
berpecah belah ataupun terkikisnya solidaritas di kalangan masyarakat
Indonesia. Hal itu tidak pula layak untuk dijadikan benteng perlindungan bagi
tumbuh kembangnya sikap sukuisme yang pada akhirnya merupakan kendala dalam
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyikapi kondisi aktual yang
berkembang, bangsa ini dihadapkan pada dua tantangan. Pertama, menjaga
kemurnian esensi dan hakikat nasionalisme, yang berarti juga menjaga kemurnian nilai-nilai
kemanusiaan. Kedua, berupaya secara aktif mengantisipasi perkembangan situasi
zaman khususnya arus globalisasi yang sedemikian hebat pengaruh implikasinya
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada gilirannya, dalam mengawal
reformasi yang terus bergulir, maka semangat nasionalisme pemuda perlu digugah
kembali.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang mendasarkan diri pada
nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) yang hakiki dan bersifat asasi.
Tujuannya, mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan setiap bangsa
untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi di dalam
hubungan-hubungan sosial. Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah
muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan
suatu negara kebangsaan. Sedangkan, ciri nasionalisme Indonesia yaitu
nasionalisme religius seperti yang dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah
nasionalisme yang tumbuh dari budaya Indonesia.
Nasionalisme religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan
dan keberagamaan. Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan
semangat religius bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas
masyarakat. Antara nilai-nilai Pancasila dan Islam dapat saling dikompromikan
dan tidak berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan
semangat nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis.
Sejumlah aktivis pemuda menilai prinsip nasionalisme dalam diri pemuda
Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus
oleh nilai-nilai dari luar. Kondisi ini terlihat semakin parah karena belum
adanya pembaharuan atas pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri pemuda.
Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme
akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemuda Indonesia
umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti
identitas bangsa. Jika kita tengok sejenak ke belakang puluhan tahun yang lalu,
bagaimana pemuda Indonesia berusaha dengan gigih menyatakan keanekaragaman yang
dimiliki bangsa Indonesia dalam satu wadah yaitu “ Indonesia”. Hal demikian
bukanlah perkara mudah yang sekali jadi, semudah membalikkan telapak tangan,
melainkan menghadapi berbagai kendala. Bayangkan saja, bukankah tidak mudah
menyatukan berbagai pendapat yang nota benenya berlatar belakang berbeda?.
Tidak dapat dipungkiri, semakin ke timur kondisi alam Indonesia semakin
kering dan panas, hal itu menyebabkan sifat dan karakter masyarakatnya juga
menjadi semakin tempramental, sensitif dan mudah sekali tersinggung. Alhasil
sikap sukuisme tumbuh subur di kalangan masyarakat Indonesia. Untungnya kondisi
demikian tidak menyurutkan semangat para pemuda saat itu. Mereka berusaha
mengesampingkan ego kedaerahan mereka demi sebuah janji persatuan. Yakni satu
bangsa, tanah air, dan bahasa.
Dengan berjalannya waktu, semangat heroik dalam janji yang terkenal
dengan Sumpah Pemuda itu mengalami pergeseran arti maupun pemahamannya. Arti
Sumpah Pemuda tentu berbeda dari saat perjuangan dulu. Bila dulu dijadikan
sebagai alat pemersatu, maka seharusnya kini dijadikan sebagai cambuk bagi
pemuda Indonesia untuk berbuat yang lebih baik demi kemajuan negara. Kenegaraan
Indonesia berkembang sesuai dinamika perubahan yang amat besar terutama
berkaitan dengan globalisasi dan reformasi. Dalam perubahan ini setiap komponen
bangsa termasuk pemuda dituntut kontribusinya sesuai kemampuan, kompetensi, dan
profesinya. Pemuda dituntut untuk mengembangkan sikap menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur budaya bangsa, sikap keteladanan dan disiplin. Di sisi lain,
perlu diciptakan suasana yang lebih dinamis dan demokratis yang mendorong
pemuda untuk berkiprah dalam transformasi pembangunan baik regional maupun
skala global.
Ironisnya, fenomena yang kita temui dalam masyarakat saat ini adalah
salah satu hari bersejarah yang menentukan kelanjutan nasib bangsa Indonesia
hanyalah dijadikan rutinitas biasa, atau peringatan tahunan yang lewat begitu
saja tanpa pemaknaan yang mendalam. Parahnya, jangankan untuk memahami makna di
balik arti sumpah pemuda itu sendiri, masih ada saja sebagian bahkan banyak
pemuda kita yang tidak mengetahui kapan hari sumpah pemuda itu. Dengan
santainya dan tanpa rasa bersalah sedikitpun mereka berdalih “ yang lalu
biarlah berlalu, tidak baik mengungkit- ungkit masa lalu”. Jika kondisi pemuda
kita seperti ini, lalu bagaimana nasib bangsa kita ke depan?. Bukankah pemuda
disebut- sebut sebagai agent of change yang diharapkan mampu membawa bangsa ini
ke arah yang lebih baik?. Ironis memang, jika bangsa Indonesia sendiri enggan
untuk mungkin sekedar tahu hari besar dalam sejarah bangsanya. Padahal bangsa
yang besar adalah bangsa yang tahu sejarah bangsanya.
Pernahkah kita bertanya pada diri kita” apa yang telah kita berikan
pada bangsa kita tercinta ini, atau kebanggaan apa yang telah kita torehkan
untuk mengharumkan nama negeri ini? Jawabannya ada dalam diri kita masing-
masing pemuda. Apa yang dapat kita berikan pada negara tercinta ini tentu
sangat berbeda dengan masa 1928-an. Bila pada masa itu para pemuda selain
berikrar setia untuk bangsa Indonesia mereka juga mempertaruhkan nyawa dan raga
untuk meraih kemerdekaan sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Saat ini
yang dapat kita berikan kepada bangsa ini adalah prestasi-prestasi membanggakan
untuk semua rakyat Indonesia. Sedikitpun apa yang kita berikan kepada bangsa
bukan menjadi sebuah ukuran, namun makna di dalam pemberian tersebut.
Potret buram kondisi pemuda kita saat ini nampak jelas di depan kita.
Mungkin ada sebagian putra- putri bangsa ini yang telah mengharumkan nama
bangsa di mata dunia lewat berbagai prestasi yang mereka torehkan. Akan tetapi,
tidak sedikit pemuda- pemudi bangsa dengan berbagai masalah yang mereka anggap
sudah lumrah dan biasa terjadi di kalangan pemuda, seperti tawuran, seks bebas,
penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Mereka berlomba- lomba berkiblat pada
dunia barat. Kecintaan pada produk dalam negeri mulai hilang dengan semakin
banyaknya produk asing (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.)
membanjiri Indonesia., Membeli produk luar negeri mereka anggap suatu
kebanggaan tersendiri yang dapat menaikkan prestise mereka di hadapan
masyarakat. Tampaknya westernisasi telah menyulap pemuda negeri ini menjadi
lupa akan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia yang masih memegang teguh
budaya timur. Selain itu, munculnya sikap individualism yang menimbulkan
ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka
orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Jika kita gambarkan, nasionalisme saat ini berada di titik nadir,
dimana semua kebijakan berkiblat pada neoliberalisme, sehingga kesejahteraan
rakyat jauh dari cita- cita pendiri bangsa. Pada tahun ini juga, moralitas
Indonesia mencapai titik kulminasi terendah. Korupsi bukan hanya menjadi bagian
dari budaya, tetapi juga telah menjadi bagian dari mata pencaharian untuk
mendapatkan tambahan bagi biaya hidup yang semakin membumbung tinggi. Sedangkan
bagi yang sudah hidup layak, korupsi merupakan bagian dari kekuasaan.
Lalu, siapa yang patut dipersalahkan untuk semua permasalahan pelik
yang melanda negeri ini?, pemerintah ?, globalisasi? atau memang nasib bangsa
kita seperti ini?. Sangatlah tidak tepat jika kita mengkambinghitamkan
pemerintah atas semua kekacauan yang melanda negeri ini, karena pemerintah
sendiri telah melakukan berbagai upaya. Namun semua itu tidak akan berarti apa-
apa tanpa dukungan dari segenap masyarakat Indonesia. Atau sangatlah tidak adil
melemparkan kesalahan sepenuhnya kepada pemuda yang sebenarnya mereka sendiri
berada dalam proses pencarian jati diri mereka masing- masing, serta salah
besar jika kita menyalahkan globalisasi. Karena kehadiran globalisasi sendiri
tidak bisa kita hindari. Globalisasi memang berpotensi memberikan dampak positif
dan juga dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Hanya ada dua pilihan dalam era
ini, menjadi tuan rumah atau mungkin pembantu di negeri sendiri?. Semua itu
tergantung dari bagaimana kita menyikapinya.
Globalisasi bisa menguntungkan apabila kita menyikapinya dengan benar.
Letak dari masalah ini menunjukkan bahwa kurang kokohnya fondasi mental dari
para pemuda kita yang tentunya berpangkal dari bagaimana mereka memperoleh
pendidikan pertama dalam keluarga. Jika pemuda bangsa telah dibekali pendidikan
mental maupun lahiriah yang kuat maka hal tersebut tidak akan terjadi. Sebab
jika kita bandingkan bagaimana cara mendidik orang dulu jauh sebelum
perkembangan teknologi mempengaruhi hidup mereka tampak berbeda dengan kondisi
sekarang, dimana teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesatnya,
dan segala sesuatu menjadi sangat mudah. Seakan tidak ada yang tidak mungkin
terjadi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bermunculan bagaikan jamur yang
membela hak asasi manusia, Komisi Nasional (KOMNAS) HAM dan perlindungan anak
yang hadir menuntut keras sekecil apapun kekerasan pada anak. Hasilya memang
sebanding, bermunculan anak- anak dengan prestasi yang gemilang. Namun sedikit
hambar, karena tidak dibarengi dengan fondasi keagamaan yang kokoh. Jika kita
perhatikan, nampak ketidakseimbangan antara IQ (intelegensi Quetient), EQ
(Emotional Quetient), dan SQ (Spiritual Quetient). Akibatnya, korupsi terjadi
dimana- mana. Ironisnya, pelaku korupsi bukanlah orang yang tidak
berpendidikan, melainkan seseorang dengan rentetan gelar di belakang namanya
yang cukup menjadi bukti bahwa mereka adalah orang- orang dengan tingkat
intelektual yang tinggi. Inikah hasil cetakan zaman modern? Mungkin berhasil
secara materiil tapi nol besar untuk pendidikan mental.
Walau bagaimanapun bukanlah sikap yang bijak jika kita hanya bisa
saling menyalahkan. Apalagi jika kita mengkambinghitamkan pemuda. Karena hal
itu tidak akan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang menimpa negeri kita
tercinta. Alangkah jauh lebih baik jika kita menyatukan segenap kemampuan yang
kita miliki demi kemajuan negeri ini. Ada beberapa langkah alternatif yang bisa
ditempuh untuk menumbuhkan kembali nasionalisme di kalangan pemuda,
diantaranya: pertama, perlu adanya redefinisi atas pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai
nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia. Kegagalan meredefinisi nilai-nilai
nasionalisme telah menyebabkan hingga kini belum lahir sosok pemuda Indonesia
yang dapat menjadi teladan. Padahal tantangan pemuda saat ini berbeda dengan
era tahun 1928 atau 1945. Jika dulu nasionalisme pemuda diarahkan untuk melawan
penjajahan, kini nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi
kepentingan pasar yang diusung kepentingan global, dan nasionalisme yang
diusung untuk kepentingan negara. Dengan demikian peran orang tua masih sangat
mendominasi segala sector kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua diharapkan pemerintah pusat dapat mempercepat distribusi
pembangunan di semua daerah agar tidak tumbuh semangat etnonasionalisme dalam
diri pemuda. Ketiga, Menempatkan semangat nasionalisme pada posisi yang benar.
Nasionalisme tidak dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus
didefinisikan sebagai suatu upaya untuk membangun keunggulan kompetitif, dan
tidak lagi didefinisikan sebagai upaya untuk menutup diri dari pihak asing
seperti proteksi atau semangat anti semua yang berbau asing. Profesionalisme
adalah salah satu kata kunci dalam upaya mendefinisikan makna nasionalisme saat
ini. Dengan demikian, nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme.
Ke depan, generasi muda
sebagai generasi penerus berada dalam posisi revitalizing agents. Pemuda
sebagai sumber kekuatan moral reformasi perlu tetap terbina agar selalu
berlandaskan pada kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap moral
yang luhur, berkepribadian nasional dan berjiwa patriotisme. Beberapa point di
atas merupakan agenda penting yang harus kita lakukan untuk menjadi tuan rumah
di negeri sendiri di era globalisasi. Karena walau bagaimanapun Kerusakan yang
terjadi pada generasi muda, adalah sebuah isyarat, bagi kehancuran sebuah
bangsa. Bagaimana tidak, pemuda hari ini, adalah orang tua yang akan datang.
Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa berjaya, jika generasi mudanya tidak punya
jati diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar