Sabtu, 31 Maret 2012

Menumbuhkan Kembali Semangat Nasionalisme Pemuda Indonesia



Tidak ada yang berani menyangkal bahwa Indonesia merupakan satu- satunya negara kepulauan di dunia yang dianugerahi dengan beragam kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Begitu banyak budaya daerah yang tersebar di seluruh tanah air, yang kesemuanya itu bermuara menjadi budaya nasional bangsa Indonesia. Perbedaan tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk berpecah belah ataupun terkikisnya solidaritas di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu tidak pula layak untuk dijadikan benteng perlindungan bagi tumbuh kembangnya sikap sukuisme yang pada akhirnya merupakan kendala dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyikapi kondisi aktual yang berkembang, bangsa ini dihadapkan pada dua tantangan. Pertama, menjaga kemurnian esensi dan hakikat nasionalisme, yang berarti juga menjaga kemurnian nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, berupaya secara aktif mengantisipasi perkembangan situasi zaman khususnya arus globalisasi yang sedemikian hebat pengaruh implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada gilirannya, dalam mengawal reformasi yang terus bergulir, maka semangat nasionalisme pemuda perlu digugah kembali.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) yang hakiki dan bersifat asasi. Tujuannya, mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan setiap bangsa untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi di dalam hubungan-hubungan sosial. Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara kebangsaan. Sedangkan, ciri nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius seperti yang dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah nasionalisme yang tumbuh dari budaya Indonesia.
Nasionalisme religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan dan keberagamaan. Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan semangat religius bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat. Antara nilai-nilai Pancasila dan Islam dapat saling dikompromikan dan tidak berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis. Sejumlah aktivis pemuda menilai prinsip nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Kondisi ini terlihat semakin parah karena belum adanya pembaharuan atas pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri pemuda. Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemuda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa. Jika kita tengok sejenak ke belakang puluhan tahun yang lalu, bagaimana pemuda Indonesia berusaha dengan gigih menyatakan keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia dalam satu wadah yaitu “ Indonesia”. Hal demikian bukanlah perkara mudah yang sekali jadi, semudah membalikkan telapak tangan, melainkan menghadapi berbagai kendala. Bayangkan saja, bukankah tidak mudah menyatukan berbagai pendapat yang nota benenya berlatar belakang berbeda?.
Tidak dapat dipungkiri, semakin ke timur kondisi alam Indonesia semakin kering dan panas, hal itu menyebabkan sifat dan karakter masyarakatnya juga menjadi semakin tempramental, sensitif dan mudah sekali tersinggung. Alhasil sikap sukuisme tumbuh subur di kalangan masyarakat Indonesia. Untungnya kondisi demikian tidak menyurutkan semangat para pemuda saat itu. Mereka berusaha mengesampingkan ego kedaerahan mereka demi sebuah janji persatuan. Yakni satu bangsa, tanah air, dan bahasa.
Dengan berjalannya waktu, semangat heroik dalam janji yang terkenal dengan Sumpah Pemuda itu mengalami pergeseran arti maupun pemahamannya. Arti Sumpah Pemuda tentu berbeda dari saat perjuangan dulu. Bila dulu dijadikan sebagai alat pemersatu, maka seharusnya kini dijadikan sebagai cambuk bagi pemuda Indonesia untuk berbuat yang lebih baik demi kemajuan negara. Kenegaraan Indonesia berkembang sesuai dinamika perubahan yang amat besar terutama berkaitan dengan globalisasi dan reformasi. Dalam perubahan ini setiap komponen bangsa termasuk pemuda dituntut kontribusinya sesuai kemampuan, kompetensi, dan profesinya. Pemuda dituntut untuk mengembangkan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa, sikap keteladanan dan disiplin. Di sisi lain, perlu diciptakan suasana yang lebih dinamis dan demokratis yang mendorong pemuda untuk berkiprah dalam transformasi pembangunan baik regional maupun skala global.
Ironisnya, fenomena yang kita temui dalam masyarakat saat ini adalah salah satu hari bersejarah yang menentukan kelanjutan nasib bangsa Indonesia hanyalah dijadikan rutinitas biasa, atau peringatan tahunan yang lewat begitu saja tanpa pemaknaan yang mendalam. Parahnya, jangankan untuk memahami makna di balik arti sumpah pemuda itu sendiri, masih ada saja sebagian bahkan banyak pemuda kita yang tidak mengetahui kapan hari sumpah pemuda itu. Dengan santainya dan tanpa rasa bersalah sedikitpun mereka berdalih “ yang lalu biarlah berlalu, tidak baik mengungkit- ungkit masa lalu”. Jika kondisi pemuda kita seperti ini, lalu bagaimana nasib bangsa kita ke depan?. Bukankah pemuda disebut- sebut sebagai agent of change yang diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik?. Ironis memang, jika bangsa Indonesia sendiri enggan untuk mungkin sekedar tahu hari besar dalam sejarah bangsanya. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu sejarah bangsanya.
Pernahkah kita bertanya pada diri kita” apa yang telah kita berikan pada bangsa kita tercinta ini, atau kebanggaan apa yang telah kita torehkan untuk mengharumkan nama negeri ini? Jawabannya ada dalam diri kita masing- masing pemuda. Apa yang dapat kita berikan pada negara tercinta ini tentu sangat berbeda dengan masa 1928-an. Bila pada masa itu para pemuda selain berikrar setia untuk bangsa Indonesia mereka juga mempertaruhkan nyawa dan raga untuk meraih kemerdekaan sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Saat ini yang dapat kita berikan kepada bangsa ini adalah prestasi-prestasi membanggakan untuk semua rakyat Indonesia. Sedikitpun apa yang kita berikan kepada bangsa bukan menjadi sebuah ukuran, namun makna di dalam pemberian tersebut.
Potret buram kondisi pemuda kita saat ini nampak jelas di depan kita. Mungkin ada sebagian putra- putri bangsa ini yang telah mengharumkan nama bangsa di mata dunia lewat berbagai prestasi yang mereka torehkan. Akan tetapi, tidak sedikit pemuda- pemudi bangsa dengan berbagai masalah yang mereka anggap sudah lumrah dan biasa terjadi di kalangan pemuda, seperti tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Mereka berlomba- lomba berkiblat pada dunia barat. Kecintaan pada produk dalam negeri mulai hilang dengan semakin banyaknya produk asing (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri Indonesia., Membeli produk luar negeri mereka anggap suatu kebanggaan tersendiri yang dapat menaikkan prestise mereka di hadapan masyarakat. Tampaknya westernisasi telah menyulap pemuda negeri ini menjadi lupa akan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia yang masih memegang teguh budaya timur. Selain itu, munculnya sikap individualism yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Jika kita gambarkan, nasionalisme saat ini berada di titik nadir, dimana semua kebijakan berkiblat pada neoliberalisme, sehingga kesejahteraan rakyat jauh dari cita- cita pendiri bangsa. Pada tahun ini juga, moralitas Indonesia mencapai titik kulminasi terendah. Korupsi bukan hanya menjadi bagian dari budaya, tetapi juga telah menjadi bagian dari mata pencaharian untuk mendapatkan tambahan bagi biaya hidup yang semakin membumbung tinggi. Sedangkan bagi yang sudah hidup layak, korupsi merupakan bagian dari kekuasaan.
Lalu, siapa yang patut dipersalahkan untuk semua permasalahan pelik yang melanda negeri ini?, pemerintah ?, globalisasi? atau memang nasib bangsa kita seperti ini?. Sangatlah tidak tepat jika kita mengkambinghitamkan pemerintah atas semua kekacauan yang melanda negeri ini, karena pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya. Namun semua itu tidak akan berarti apa- apa tanpa dukungan dari segenap masyarakat Indonesia. Atau sangatlah tidak adil melemparkan kesalahan sepenuhnya kepada pemuda yang sebenarnya mereka sendiri berada dalam proses pencarian jati diri mereka masing- masing, serta salah besar jika kita menyalahkan globalisasi. Karena kehadiran globalisasi sendiri tidak bisa kita hindari. Globalisasi memang berpotensi memberikan dampak positif dan juga dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Hanya ada dua pilihan dalam era ini, menjadi tuan rumah atau mungkin pembantu di negeri sendiri?. Semua itu tergantung dari bagaimana kita menyikapinya.
Globalisasi bisa menguntungkan apabila kita menyikapinya dengan benar. Letak dari masalah ini menunjukkan bahwa kurang kokohnya fondasi mental dari para pemuda kita yang tentunya berpangkal dari bagaimana mereka memperoleh pendidikan pertama dalam keluarga. Jika pemuda bangsa telah dibekali pendidikan mental maupun lahiriah yang kuat maka hal tersebut tidak akan terjadi. Sebab jika kita bandingkan bagaimana cara mendidik orang dulu jauh sebelum perkembangan teknologi mempengaruhi hidup mereka tampak berbeda dengan kondisi sekarang, dimana teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesatnya, dan segala sesuatu menjadi sangat mudah. Seakan tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bermunculan bagaikan jamur yang membela hak asasi manusia, Komisi Nasional (KOMNAS) HAM dan perlindungan anak yang hadir menuntut keras sekecil apapun kekerasan pada anak. Hasilya memang sebanding, bermunculan anak- anak dengan prestasi yang gemilang. Namun sedikit hambar, karena tidak dibarengi dengan fondasi keagamaan yang kokoh. Jika kita perhatikan, nampak ketidakseimbangan antara IQ (intelegensi Quetient), EQ (Emotional Quetient), dan SQ (Spiritual Quetient). Akibatnya, korupsi terjadi dimana- mana. Ironisnya, pelaku korupsi bukanlah orang yang tidak berpendidikan, melainkan seseorang dengan rentetan gelar di belakang namanya yang cukup menjadi bukti bahwa mereka adalah orang- orang dengan tingkat intelektual yang tinggi. Inikah hasil cetakan zaman modern? Mungkin berhasil secara materiil tapi nol besar untuk pendidikan mental.
Walau bagaimanapun bukanlah sikap yang bijak jika kita hanya bisa saling menyalahkan. Apalagi jika kita mengkambinghitamkan pemuda. Karena hal itu tidak akan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang menimpa negeri kita tercinta. Alangkah jauh lebih baik jika kita menyatukan segenap kemampuan yang kita miliki demi kemajuan negeri ini. Ada beberapa langkah alternatif yang bisa ditempuh untuk menumbuhkan kembali nasionalisme di kalangan pemuda, diantaranya: pertama, perlu adanya redefinisi atas pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia. Kegagalan meredefinisi nilai-nilai nasionalisme telah menyebabkan hingga kini belum lahir sosok pemuda Indonesia yang dapat menjadi teladan. Padahal tantangan pemuda saat ini berbeda dengan era tahun 1928 atau 1945. Jika dulu nasionalisme pemuda diarahkan untuk melawan penjajahan, kini nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi kepentingan pasar yang diusung kepentingan global, dan nasionalisme yang diusung untuk kepentingan negara. Dengan demikian peran orang tua masih sangat mendominasi segala sector kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua diharapkan pemerintah pusat dapat mempercepat distribusi pembangunan di semua daerah agar tidak tumbuh semangat etnonasionalisme dalam diri pemuda. Ketiga, Menempatkan semangat nasionalisme pada posisi yang benar. Nasionalisme tidak dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus didefinisikan sebagai suatu upaya untuk membangun keunggulan kompetitif, dan tidak lagi didefinisikan sebagai upaya untuk menutup diri dari pihak asing seperti proteksi atau semangat anti semua yang berbau asing. Profesionalisme adalah salah satu kata kunci dalam upaya mendefinisikan makna nasionalisme saat ini. Dengan demikian, nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme.
Ke depan, generasi muda sebagai generasi penerus berada dalam posisi revitalizing agents. Pemuda sebagai sumber kekuatan moral reformasi perlu tetap terbina agar selalu berlandaskan pada kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap moral yang luhur, berkepribadian nasional dan berjiwa patriotisme. Beberapa point di atas merupakan agenda penting yang harus kita lakukan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri di era globalisasi. Karena walau bagaimanapun Kerusakan yang terjadi pada generasi muda, adalah sebuah isyarat, bagi kehancuran sebuah bangsa. Bagaimana tidak, pemuda hari ini, adalah orang tua yang akan datang. Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa berjaya, jika generasi mudanya tidak punya jati diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar