Sabtu, 31 Maret 2012

Sumpah Pemuda dan Pudarnya Semangat Nasionalisme


Dulu, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia dengan segala perbedaan mereka berkumpul dalam satu pertemuan bersejarah. Mereka menyatukan hati dan pikiran untuk mempersatukan bangsa Indonesia dalam satu kedaulatan. Para pemuda ini sadar bahwa mereka selama ini telah tercerai-berai oleh karena keinginan golongan dan keinginan kelompok. Di tanggal itulah mereka menyatukan cita-cita mulia mereka untuk membebaskan Indonesia dari jajahan bangsa asing. Seluruh perbedaan yang meragami nusantara, dipersatukan dalam cita-cita mulia yaitu Indonesia, oleh nasionalisme para pemuda!
Sejak saat itu perjuangan menggapai kemerdekaan RI terus dilakukan oleh para patriot muda. Semangat nasionalisme atau cinta tanah air, berbangsa dan bernegara Indonesia, yang berakhir diatas satu seruan, merdeka! Inilah kerinduan para pemuda kala itu sampai akhirnya Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Ini menjelaskan bahwa nasionalime dan pemuda adalah dua kunci utama kemerdekaan Indonesia.



Pemuda Masa Kini
Kemudian mari kita telanjangi kondisi para pemuda saat ini. Kondisi riil sebagian besar pemuda bangsa Indonesia. Di saat tokoh-tokoh pemuda 83 tahun yang lalu berkumpul untuk membicarakan arah pergerakan pemuda, saat ini ada banyak tokoh-tokoh pemuda berkumpul untuk membicarakan kekuasaan. Dulu mereka mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi untuk membela bangsa, sekarang semangat itu hanya muncul –maaf- kalau sedang nonton timnas main bola, itupun kalau memang penggila timnas atau kalau negara tetangga, Malaysia, sedang buat kisruh di daerah perairan Indonesia, tiba-tiba kita menjadi seorang nasionalisme sejati namun untuk beberapa saat saja kemudian luntur.
Tengoklah sekolah swasta sekarang. Sudah tidak ada lagi upacara pengibaran bendera. Coba tanyakan pemuda tetangga anda apakah masih hafal lagu Indonesia Raya? Lagu yang untuk pertama kalinya berkumandang di tanggal bersejarah ini. Maaf kalau saya mengatakan hari-hari besar kenegaraan hanya diperingati sebagai seremonialitas belaka. Lalu dimana para pemuda kita?
Saya bukan bersikap pesimis, naif, apatis dan –is lainnya. Tapi gaya hidup Hedonisme, pragmatisme, anarkisme dan –me lainnya, nampaknya lebih menarik hati sebagian besar pemuda saat ini ketimbang berkarya untuk kemajuan bangsa. Ada banyak bukti. Kasus kejahatan yang dilakukan anak muda meningkat, tawuran antar sekolah, antar kampus, seks bebas, dunia gemerlap alias dugem, narkoba, prinsip ideologi semu dan lain sebagainya. Mengapa ini bisa terjadi? Entahlah yang pasti ada banyak faktor
Bagaimana Dengan Pemimpin?
Saya mencoba berimajinasi, apakah kita harus kembali dijajah bangsa asing untuk menumbuhkan rasa bertanah air, berbangsa dan bernegara Indonesia? Ah saya rasa tidak perlu bangsa asing, rasanya bangsa ini sendiri sudah dijajah oleh bangsanya sendiri. Ada banyak penjajah di tanah yang namanya Indonesia ini terutama para elit politik dan para penguasa. Rasanya ingin sekali bertanya kepada mereka, apakah mereka sudah memberikan contoh yang baik, minimal dalam memaknai sakralnya Sumpah Pemuda?
Hal yang diperlihatkan para pemimpin bangsa ini kepada kaum muda Indonesia bukanlah teladan yang baik. Saya rasa kita sama-sama tahu bagaimana gaya mereka. Keteladanan dan kepemimpinan, sungguh jauh dari apa yang diharapkan. Akibatnya negara ini mengalami karapuhan, kehilangan jati diri, tidak ada fondasi yang kuat untuk berbangsa, bahkan nyaris  mencapai titik kelumpuhan sosialnya.
Esensi Sumpah Pemuda
Mungkin ada pemuda yang bertanya, Apakah makna sumpah pemuda masih relevansi dengan keadaan saat ini? Saya akan katakan sampai kapan pun bahkan sampai kiamat makna itu tetap relevan untuk kehidupan para pemuda/i Indonesia. Apakah dasar negara Pancasila telah gagal dalam mempersatukan Indonesia? Pancasila tidak pernah gagal. Yang salah adalah diri kita yang tidak memaknai sumpah pemuda dan memakai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bahkan pemimpin bangsa ini tidak menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Peringatan Sumpah Pemuda yang jatuh pada Jumat 28 Oktober ini kembali mengingatkan kita bahwa ada nilai sakral yang harus kita jaga. Peranan kepemudaan yang begitu besar menggambarkan kekuatan pemuda yang luar biasa sebagai pelopor penggerak berbagai perubahan. Jangan sampai pemuda/i Indonesia mengalami degredasi moral dan kehidupan. Pertahankan esensi dari sumpah pemuda. Seperti yang saya katakan di atas ada dua kunci utama yaitu Pemuda dan semangat Nasionalisme.
Pemuda harus paham betul dampak yang bisa mereka lakukan terhadap bangsa. Itu sudah dibuktikan dalam catatan sejarah bangsa ini. Sumpah Pemuda, Kemerdekaan, sampai Reformasi semua bisa ada karena peran pemuda di dalamnya. Harus di ingat, karena sumpah bagaikan sebuah doa, memiliki kekuatan untuk keluar dari keterbelengguan! Maka, berikanlah kesempatan bagi kaum muda untuk membakar kembali semangat Nasionalisme!
Mari kita ikrarkan kembali Sumpah Pemuda:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pudarnya Rasa Nasionalisme Pemuda Indonesia




Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri.
Sekarang rasa nasionalisme dan kebangsaan sebagian besar dari kita telah memudar, memudarnya rasa cinta terhadap tanah air ini dilihat minimnya pemahaman remaja akan nilai-nilai budaya. Remaja sekang lebih cenderung mengikuti budaya barat yang sangat jauh perbandingannya dengan norma dan adat istiadat bangsa Indonesia.
Remaja sekarang lebih senang dengan hal-hal dan produk-produk impor dibanding dengan produl lokal sendiri. Mereka bangga jika menggunakan baju atau barang-barang dari merk luar negri. Mereka malu menggukan roduk lokal yang mereka anggap produk lokal itu tidak mengikuti perkembangan zaman.
Yang perlu diperhatikan lagi bahwa anak bangsa sering lupa akan lagu kebangsaannya sendiri. Banyak lagu-lagu yang tidak dapat meningkatkan rasa nasionalisme anak bangsa diputar dan di publis kan. Apabila ditanya kepada anak bangsa mengenai “lagu favorit mereka ?” mereka tidak akan menyebut lagu kebangsaanya tetapi menyebut lagu-lagu yang tidak memicu rasa nasionalisme.
Dimana peran pemerintahan dalam menanggulangi hal ini? Mereka perlu ditanamkan kembali rasa akan cinta tanah air dan bangga dengan bangsanya sendiri. Inilah tugas pemerintah untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang tidak dimiliki oleh remaja. Meningkatkan kulaitas dan kuantitas produk dan hl-hal yang menyangkut bangsa indonesia. Sehingga rasa nasionalisme dari bangsa ini tidak pudar dan hilang dengan begitu saja.
Rapuhnya rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pascakrisis.
Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (social contract) yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya menjadi wacana belaka.
Pemberantasan korupsi terhadap para koruptor kelas kakap dan penegakan hukum dan keadilan yang sebenarnya sebagai sarana strategis untuk membangkitkan semangat cinta tanah air dalam diri anak-anak bangsa, tetapi semuanya tampak bohong belaka. Ini membuat generasi sekarang menjadi gamang terhadap bangsa dan negaranya sendiri, ketidakpercayaan rakyat terhadap negara menurun dan rasa cinta tanah air serta nasionalisme kaum pelajar melapuk.
Bukan hal yang aneh jika semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa semakin tenggelam sejak beberapa dekade terakhir. Boleh jadi, penyebab dari memudarnya rasa nasionalisme ini juga disebabkan oleh karena paradigma tentang bangsa dan nasionalisme yang kita anut, berjalan di tempat.
Padahal, perkembangan nasional dan global menuntut paradigma yang disesuaikan dari masa ke masa, sesuai dengan keadaan bangsa dan negara yang berdaulat. Dari dalam itulah lahir kesadaran berbangsa dan bernegara yang pada hakikatnya merupakan kesadaran politik yang normatif.
Dari sini pula kesadaran yang merupakan janin suatu ideologi yang disebut nasionalisme. Dalam arti, nasionalisme sebagai suatu paham yang mengakui kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa demi kejayaannya seharusnya bersatu padu dan bertekad bulat dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari nasionalisme inilah lahir ide dan usaha perjuangan untuk mewujudkan negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti ini berkembang kuat pada tahun 1930-an dan memuncak pada tahun 1940-an. Yang kemudian menjadi problem besar di sini adalah, apakah tegaknya suatu nation yang pada hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik bernegara itu dapat dilakukan tanpa landasan kultur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Pertanyaan ini perlu diperhatikan dan dijawab. Sebab, tantangan yang paling berat bagi sebuah negara yang berdaulat sesungguhnya adalah bukan terutama pada sikap ekspansif dari negara tetangga seperti Malaysia dalam kasus Pulau Ambalat, tetapi lebih pada faktor kultur atau pemeliharaan budaya, sikap hidup atau perilaku hidup sehari-hari, seperti bagaimana kita menciptakan keadilan, perikemanusiaan dan lain-lain di dalam bangsa dan negara sendiri. Akhirnya, harus diakui bahwa nasionalisme telah merapuh. Cita-cita proklamasi kini ibarat gubug reyot yang siap roboh diterjang angin. Untuk itu, baik pemerintah maupun warga negara seyogyanya bahu membahu mewujudkannya. Karena, hanya dengan persatuanlah cita-cita proklamasi akan terwujud.

Nasionalisme dalam Pandangan Pemuda


Indonesia adalah suatu Negara yang didalamnya terdiri dari berbagai suku bangsa dan menempati suatu wilayah yang merupakan wilayah kepulauan terluas di dunia. Maka Negara Indonesia membutuhkan suatu rasa kebangsaan yang disebut dengan nasionalime. Nasionalime adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Hal ini dapat dilihat di Negara Indonesia yang dimana ketika itu bangsa Indonesia berjuang untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hal ini sama halnya dengan usaha untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan  sebuah Negara, dengan konsep yang sebagaimana terdapat pada teks proklamasi yang telah dibacakan pada hari Jum’at tanggal 17 agustus 1945 di Jakarta. Pada waktu itu rakyat Indonesia memiliki rasa nasionalime yang kuat, dari sabang sampai merauke rakyat Indonesia menantikan moment tersebut yang kini diperingati sebagai hari kemerdekaan Indonesia.



Pada waktu itu adalah titik puncak perjuangan para pahlawan dan pemuda untuk memperjuangkan bangsa indonesai dalam satu kesatuan sebagai Negara yang berdaulat dan lepas dari penjajahan bangsa lain. Tapi kini di era moderenisasi Indonesia, nasionalime yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dan nenek moyang kita  dari tiga seperempat abad silam seakan-akan tidak begitu dapat kita rasakan kembali bahkan dapat dikatakan rasa nasionalime tersebut telah hilang dari dada seorang pemuda Indonesia. Hilangnya rasa nasionalisme di dada seorang pemuda Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain adalah Budaya, Ekonomi, Kepemimpinan dan Kehidupan Sosial di Indonesia masa kini.
Nasioanalisme Dalam Kebudayaan Masa Kini Di Indonesia
Budaya adalah keseluruhan sistem sosial masyarakat. Budaya masa kini di Indonesia lebih dikenal dengan budaya Moderen. Budaya modern banyak diadopsi dari budaya barat, karena hingga saat ini kiblat dari kebudayaan teknologi serta informasi masih sedang dikuasai oleh barat, yaitu Negara-negara uni Eropa dan Amerika. Sehingga otomatis didukung dengan adanya globalisasi dan paham liberal pada masa kini menyebabkan sebagian bangsa-bangsa timur mengalami krisis kebudayaan, salah satu Negara yang menerima dampak tersebut adalah Indonesia. Negara Indonesia telah mengalami krisis kebudayaan yang saat ini bisa dilihat telah mendekati masa kritis. Hal ini bisa dilihat dari pemuda-pemuda Indonesia yang telah kehilangan orientasi kebudayaan.
Didukung dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi di era modern saat ini banyak diantara pemuda Indonesia yang telah merubah gaya hidup mereka seperti yang mereka dapatkan di televise,internet, majalah atau media informasi di masyarakat yang posisinya selalu update informasi yang terbaru dan terpopuler di masa modern ini. Ditambah lagi ketika globalisasi masuk di Indonesia, seakan-akan ruang dan waktu dipersempit tidak ada batas antar satu daerah dan daerah lain dipelosok Negara di dunia. Mereka pemuda-pemuda Indonesia masa kini lebih suka dengan kebudayaan yang dikenakan oleh bangsa barat, karena pada saat ini merekalah yang berkauasa atas trendsetter peradaban di dunia dari teknologi hingga fashion serta gaya hidup. Akbat dari hal tersebut maka tanpa disadari sedikit demi sedikit rasa nasionalisme di dada para pemuda mulai hilang. Ketika kebudayaan Indonesia yang telah ada diambil oleh Negara asing maka sebagian besar dari bangsa Indonesia marah tidak terkecuali pemuda Indonesia.
Tapi mungkinkah di balik isu marahnya atau tersinggungnya bangsa Indonesia ketika kebudayaan aset Negara Indonesia di ambil oleh Negara lain dipengaruhi oleh suatu oknum yang memprovokasi bangsa serta pemuda Indonesia untuk marah kepada mereka yang telah mengambil asset budaya Negara Indonesia sebagai kepentingan pribadi mereka. Mungkin dapat dikatakan bahwa hal ini wajar tapi ironisnya adalah bangsa ini sadar ketika tahu budaya ini diambil secara terang-terangan oleh Negara asing, tetapi ketika asset tersebut masih ditangan kita, kita justru melupakannya. Apalagi pemuda sebagai kader bangsa saat ini, ketika mereka ditawari untuk bermain atau bahkan mendengarkan saja alunan music angklung mereka lebih memilih untuk mendengar music asing diluar dari music budaya negeri sendiri. Mereka lebih suka mendengarkan music jazz,pop ataupun rock yang music tersebut adalah jelas milik dari budaya barat bukan budaya bangsa kita. Tapi ketika angklung diambil menjadi seni kebudayaan bangsa lain, bangsa ini menjadi marah seakan-akan tidak terima ketika seni atau kebudayaa bangsa ini diambil. Padahal apabila dilihat angklung mungkin kan lebih berkembang di Negara luar karena bangsa luar lebih ingin mempelajari dan mengembangkan angklung tersebut sebagai alat music.
Tapi ironis dinegara Indonesia sedikit sekali bahkan hanya orang-orang tertentu yang dapat bermain angklung, atau disini lebih ditekankan hanya orang-orang tua saja yang dapat bermain dan membuat angklung, sedangkan kaderisasi kepada pemuda untuk dapat bermain dan membuat angklung hampir hilang dan tidak ada. Sebagian besar dari mereka mungkin kan berpikir hal tersebut telang kuno dan using, bukan jamannya lagi untuk bermain angklung. Orientasi pemikiran mereka lebih suka untuk bermain gitar,piano, drum atau alat music yang pastinya lebih sering tampil di televise,internet,majalah atau media elektronik dan media cetak masa kini. Mungkin hal ini adalah contoh kecil mengenai pudarnya rasa nasionalisme di dada pemuda bangsa Indonesia dilihat dari segi seni budaya. Ironis ketika bangsa dan pemuda Indonesia mudah untuk terprovokasi tanpa bercermin terlebih dahulu kepada diri sendiri. Dilihat dai contoh kasus diatas,dalam hal ini penulis menyebutkan bahwa nasionalisme di dalam dada pemuda Indonesia masa kini adalah nasionalisme semu yang hadir dalam bentuk kesadaran dari diri sendiri tapi lebih mudah sadar ketika ikut terprovokasi atau sebagai ajang ikut-ikutan oleh suatu oknum provokator atau komunitas tertentu untuk kepentingan sepihak atau pribadi.
Ekonomi Nasionalis di Era Globalisasi
Ekonomi di era globalisasi ini akan jelas terasa sekali terhadap nasionalisme bangsa Indonesia. Dilihat dari system dagang di era global modern saat ini dapat dilihat segi positf dan negative. Segi positif bangsa ini bisa untuk lebih termotivasi untuk berkarya dengan bangsa lain dan juga Negara akan mendapatkan dana dari penjualan eksport import. Tapi dari segi negative justru lebih dapat dirasakan dampak dari perekonomian global. Didukung dengan paham kapitalis yang telah menunggangi system perekonomian global saat ini menjadikan pedagang-pedagang rakyat kecil mati kehabisan modal dan minat dan terinjak oleh pemilik modal kaum kapitalis. Hal ini diakibatkan dari pemuda bangsa Indonesia saat ini lebih suka dengan produk asing dan untuk mencintai produk dalam negeri, produk Indonesia minatnya berkurang dan semakin menghilang. Maka hal tersebut kembali kepada rasa nasionalisme yang ada di dada pemuda Indonesia. Dilihat dari kehidupan pemuda saat ini, pemuda Indonesia lebih senang untuk memakai produk luar negeri, tidak dipungkiri lagi alasannya sederhana yaitu produk dari luar negeri memiliki harga yang lebih murah dan kualitas yang sama bahkan lebih baik dari produksi negeri sendiri. Pemuda Indonesia saat ini lebih senang untuk berbelanja di supermarket atau shooping di Mall ataupun plasa yang memilki bangunan dan tingkat kenyamanan yang lebih baik dari pada mereka berbelanja dan shooping di pasar rakyat atau pasar tradisional. Mereka mungkin lebih mementingkan kenyamanan yang supermarket,mall ataupun plasa yang mereka berikan kepada pengunjung dan pelanggan, mulai dari keadaan tempat,fasilitas dan keamanan mereka berikan lebih dari pada koperasi atau pasar tradisional walaupun mereka harus membayar sedikit lebih mahal.
Tapi dibalik itu mereka tidak melihat dampak dari apa yang telah mereka lakukan dapat mematikan ekonomi rakyat. Mereka melupakan tradisi nenek moyang atau orang-orang tua mereka untuk membangun suasana paguyuban atau kekeluargaan dalam esensi dari adanya system perekonomian rakyat mulai dari koperasi maupun pasar tradisional. Dari hal tersebut mereka juga merupakan rasa persatuan dan kebersamaan antara penjual dan pembeli yang dapat diperoleh dalam perekonomian kerakyatan. Mereka tidak akan mendapatkan cara tawarmenawar di dalam supermarket, mereka juga tidak dapat mendapatkan rasa persaudaraan dan kebersamaan antara penjual dan pembeli di supermarket. Di supermarket yang di dapatkan adalah semboyan “aku ambil aku bayar” setelah itu selesai tanpa adanaya ikatan sama sekali. Dari sini untuk menerapkan semboyan “aku cinta produk Indonesia “ pun akan sulit di terapkan dan akan hilang. Pemuda-pemuda Indonesia yang lebih cenderung untuk berbelanja mengunjungi mall atau supermarket dari pada pasar akan lebih konsumtif terhadap sayuran atau buah hasil dari produksi keluaran pabrik dengan label yang berkualitas dan diakui dari pada produksi dalam negeri yang terkadang hasil dari jerih payah seorang ibu-ibu atau bapak-bapak yang dari pagi-pagi buta datang ke pasar menjajakan sayuran atau buah yang ia petik sendiri dari kebunnya di desa. Walaupun hasil yang dimakan adalah sama merupakan hasil dari alam dan bumi Indonesia, hanya bedanya mungkin hasil alam dan bumi Indonesia di eksport terlebih dahulu kemudian di jual kembali di Indonesia dalam produk jadi.
Jelas pemuda Indonesia saat ini sebagian besar lebih percaya terhadap label kualitas yang telah tersertifikasi diakau seperti yang ada di mall atau supermarket dari pada hasil bumi rakyat kecil tanpa disertai dengan label dan sertifikasi standar seperti yang ada di pasar tradisional. Maka yang perlu ditekankan disini adalah kepercayaan bangsa terhadap produk bangsa sendiri masihlah kurang dan perlu ditinjau kembali. Pemerintah juga lebih baik untuk tetap terus mendukung ekonomi kerakyatan, dengan melindungi mereka dari kaum kapitalis, dengan memperbaiki sarana pasar, menambah fasilitas dan memberikan peningkatan kualitas hasil bumi yang di panen oleh rakyat. Sehingga pasar rakyat kembali hidup dan hasil produk dalam negri yang mereka hasilkan bisa lebih dipercaya, berkualitas dan lebih dicintai oleh bangsa sendiri.
Dibalik Kepemimpinan Masa Kini Atas Nama Nasionalisme
Kepemimpinan sangatlah berpengaruh terhadap nasionalisme di Indonesia. Pemimpin adalah orang tertinggi dan memiliki pengaruh yang besar di sekitarnya. Sebaiknya sikap pemimpin memberikan contoh yang baik kepada bawahannya atau anak buahnya karena seorang pemimpin sendiri adalah ibara cerminan dari apa yang ia pimpin. Begitu juga pada kepemimpinan saat ini banyak dari bupati dan menteri bahkan pejabat Negara haruslah bisa memberikan contoh nasionalisme di Indonesia kepada rakyat. Kasus yang tampak saat ini adalah ketika rasa nasionalisme di pakai untuk kepentingan politik yang akan di manfaatkan secara sepihak. Atas nama nasionalisme mereka berebut kursi di tatanan kepemerintahan. Atas nama nasionalisme mereka rebut simpati rakyat untuk mendukung mereka agar terpilih di kursi kepemerintahan. Padahal apa yang disebut dengan nasionalisme kewarganegaraan atau nasionalisme sipil adalah sejenis nasionalisme dimana Negara memperoleh kebenaran politik dan penyertaan aktif rakyatnya “kehendak rakyat” untuk mencapai kepentingan bersama. Oleh Nurani Soyomukti disadur dari argument Bung Karno nasionalime untuk memperalat rakyat demi proyek maupun kepentingan sendiri disebut dengan nasionalisme borjuis. Sehingga  saat ini rakyat juga semakin sadar akan nasionalisme palsu yang dibuat oleh kaum borjuis. Ketika terjadi ajang pemilu,yang merupakan ajang nasionalisme dalam menggerakkan rakyat, tapi justru pemilu ditinggalkan rakyat di Indonesia. Hal ini dapat di lihat pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun angka golput semakin banyak. Hal ini diakibatkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin semakin berkurang, karena jika dapat di pikirkan kembali tentu saja seseorang tidak ingin melakukan suatu pekerjaan yang nantinya tidak berpengaruh terhadap nasib mereka.
Apabila dahulu pemimpin selalu melindungi dan memperjuangkan rakyat dari imperialism, maka saat ini walaupun bangsa ini telah merdeka secara berdaulat tapi tak dapat dipungkiri lagi bangsa ini masih tampak terjajah walaupun dengan cara halus. Dan perbedaannya adalah ketika dahulu pemimpin Indonesia selalu memperjuangkan dan melindungi rakyat dari imperialism maka pemimpin sekarang lebih bersifat menutup-tutupi imperialism tersebut. Penjualan saham-saham Negara terhadap asing merupakan wujud dari imperialisme secara halus sehingga rakyat kecil akan menjadi korban dari kaum kapitalis pemilik modal, negara tidak lagi memeiliki hak penuh terhadap suatu asset Negara karena sebagian bahkan ada yang seluruhnya saham negara telah terjual dan dibeli oleh asing. Maka pemimpin kedepan di harapkan lebih menyadarinya terlebih dahulu keadaan bangsa saat ini. Dan kunci dari nasib bangsa ini kedepan adalah di tangan pemuda yang dapat membawa bangsa ini menjadi lebih baik. Jiwa-jiwa pemuda haruslah diasah kepekaannnya dan pemikirannya, agar harapannya tercipta pemimpin-pemipin pemuda terdahulu yang memilki pemikiran nasionalis sederhana seperti Bung Karno yaitu menciptakan bangsa yang mandiri, karena nasionalisme akan tumbuh di dada bangsa yang tidak tergantung dari bangsa lain. Salah satu prinsip bung Karno adalah tri sakti yang berarti “mandiri di bidang ekonomi, berdaulat dibidang politik dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Cermin Kehidupan Sosial Masa Kini Dalam Nasionalisme Pemuda Indonesia
Kehidupan sosial di Indonesia saat ini terpaku pada kehidupan di era modern. Pemuda masa kini berbeda dengan pemuda masa lalu. Kebanggaan pemuda terhadap negara Indonesia telah terkikis, cara hidup pemuda yang lebih mengikuti gaya hidup seperti yang ada di televisi atau media cetak maupun elektronik saat ini menyebabkan rasa bangga kepada Negara ini dapat dikalahkan oleh kebanggaan mereka terhadap teknologi dan gaya hidup asing yang lebih terbaru dan terkesan modern. Banyak hal dalam kehidupan sosial mereka mulai dari aspek budaya dan ekonomi yang telah di jelaskan diatas. Kehidupan sosial sekarang lebih memotivasi bagaimana cara kita untuk bisa lebih baik maju seperti Negara lain yang kita tapi terkadang kita lupa akan kehidupan sosial dan budaya yang kita miliki sebelumnya. Berusaha untuk menjadi bangsa yang dapat bercermin dari Negara lain tanpa kita harus hanyut didalamnya atau bangkan lupa akan tanah kelahiran.
Bila kita bercermin pada Negara Cina dengan apa yang disebut dengan nasionalisme etnis. Cina merupakan Negara yang besar dengan jumlah populasi penduduk yang banyak. Disana terkenal adalah orang-orang Tionghoa. Sebelum Cina menjadi Negara adidaya, cina adalah Negara miskin. Tapi kemudian warga negaranya menyebar berdagang di seluruh penjuru dunia. Berdirinya Negara singapura yang menjadi pusat perdagangan dunia tak lepas dari Inggris dan usaha tionghoa untuk menjadikan Negara Singapura menjadi Negara maju. Tetapi rasa keterikatan rasa kebangsaan orang-orang perantauan china di singapura juga tidak lupa dengan tanah kelahirannya. Orang-orang sukses tionghoa di Negara asing juga tetap membantu China menjadi Negara besar sampai sekarang ini. Mereka juga dapat menjadi Negara maju tanpa melupakan identitas mereka sebagai orang cina bahkan kebudayaan mereka pun seperti barongsai juga dapat mereka lestarikan selain di negara sendiri juga di negara yang lain. Diharapkan juga begitu dengan Indonesia sebagai, ketika banyak dari pelajar Indonesia yang pergi ke luar negri jangan anggap mereka sebagai penghianat, sebenarnya koruptor lah penghianat bangsa sebenarnya. Anggaplah mereka pelajar atau delegasi Negara sebagai saudara kita. Bukan lah kita berpikir dari sudut pandang negative saja tetapi juga di lihat dari sudut pandang positif. Ketika mereka berada di luar negri anggaplah mereka dapat untuk menjadi duta bangsa sehingga mereka juga dapat membangun hubungan kerjasama antar satu Negara dengan Negara yang lain. Sehingga mereka juga dapat berperan untuk membangun Negara kita menjadi yang lebih baik.
Mengantipsipasi Menipisnya Nasionalisme di Indonesia Masa Kini
Guna menghindari menipisnya bahkan menghilangnya rasa Nasionalisme di Indonesia saat ini sesuai dengan gagasan penulis diatas maka penulis memberikan masukan yang bisa diterapkan di masyarakat guna mencegah dan tetap mengokohkan nilai nasionalisme di Indonesia:
  1. Lebih selektif terhadap paham Liberal dan Sekuler serta adanya Globalisasi yang ada di Indonesia saat ini.
  2. Kerjasama media elektronik maupun media cetak dengan pemerintah agar media lebih mempelihatkan kepada masyarakat mengenai pentingnya cinta produk Indonesia.
  3. Peningkatan Fasilitas sarana dan prasarana Ekonomi kerakyatan
  4. Peningkatan mutu dan kualitas hasil produk dalam negri
  5. Membangun paradigma positif  terhadap Negara Indonesia
  6. Jangan mudah terprovokatori oleh sesuatu yang belum pasti
  7. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
  8. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
  9. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
Dengan adanya cara-cara mengantisipasi menipisnya Nasionalisme di Indonesia pada masa kini maka diharapkan bangsa Indonesia tidak kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia. Dan tetap memilki rasa untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara untuk mewujudkan satu konsep untuk kepentingan bersama.

Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi




Latar Belakang Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi
Kehidupan bangsa Indonesia di Era Globalisasi, di tandai oleh era perdagangan bebas, dimana produk dari suatu negara dengan bebas dapat masuk dan di perjualbelikan di negara lain. Kenyataan itu tentu menimbulkan tantangan bagi semua negara untuk mampu bersaing dalam meningkatkan kualitas produk industrinya, bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari tantangan itu. Ditengah-tengah usaha itu untuk memperbaiki perekonomian, bangsa Indonesia juga ditantang untuk berjuang menempatkan bangsa Indonesia sederajat dengan bangsa lain. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia yang baik tentu memiliki rasa bangga terhadap produk dalam negeri. Kita harus sadar dan bangga bahwa produksi dalam negeri tidak kalah dengan produksi luar negeri.
Di era globalisasi ini persaingan begitu ketat dan tajam pada semua aspek kehidupan. Dibidang ideologi, kehancuran komunisme di Eropa Timur memungkinkan liberalisme – kapitalisme mendominasi dunia. Di bidang politik, pengaruh negara-negara besar sulit di elakan. Dibidang ekonomi, perdagangan bebas menyebabkan produksi lokal terpental. Di bidang sosial budaya, pola hidup dan budaya hedonistic (maunya enak, senang saja) mewarnai semua lapisan dan lingkungan masyarakat. Sedangkan dibidang pertahanan dan keamanan penguasaan teknologi persenjataan bukan lagi jaminan keamanan melainkan cenderung sebagai ancaman.
Dalam kondisi seperti itu, maka hanya orang, masyarakat bangsa dan negara yang memiliki kualitas sajalah yang berpeluang memenangkan persaingan tersebut dan kunci untuk mencapai itu adalah sumber daya manusia yang berkualitas dan di dukung oleh teguhnya pendirian, loyal pada bangsa dan negara. Terikat pada tekad, cinta pada tugas, dan semua itu dilakukan sebagai wujud cinta pada tanah air.
Upaya Pemerintah menghadapi Era Globalisasi dan perkembangan IPTEK
Dalam menghadapi globalisasi dan perkembangan IPTEK, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan seperti termuat dalam GBHN sebagai berikut :
Bidang Ekonomi
Kebijakan bidang ekonomi dalam upaya menghadapi tantangan globalisasi disebutkan sebagai berikut :
• Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil serta kerajinan rakyat.
• Mengembangkan kebijakan industri, perdagangan dan investasi dalam rangka meningkatkan Persaingan global dengan membuka aksesibilitas yang sama terhadap kesempatan kerja dan berusaha bagi segenap rakyat, dan seluruh daerah melalui keunggulan kompetitif terutama berbasis keunggulan sumber daya manusia dengan menghapus segala bentuk perlakuan diskriminatif dan hambatan.
Bidang Politik
Kebijakan bidang politik dalam upaya menghadapi tantangan globalisasi disebutkan sebagai berikut :
• Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antar negara berkembang mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta kerja sama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
• Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, AFEC dan WTO.
• Memperkuat kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana penerangan khususnya di luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan Nasional di Forum Internasional.
Bidang Agama
Kebijakan bidang Agama dalam upaya menghadapi tantangan globalisasi disebutkan sebagai berikut :
• Meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama, sehingga lebih terpadu dan integral dengan sistem pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
• Meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam ikut mengatasi dampak perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupan untuk memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa, serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bidang Pendidikan
Kebijakan bidang Pendidikan dalam upaya menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan IPTEK antara lain :
• Meningkatkan kemampuan akademik dan kesejahteraan tenaga kependidikan sebagai tenaga kependidikan sebagai tenaga pendidikan mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga pendidikan.
• Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Bidang Sosial Budaya
Kebijakan bidang sosial budaya dalam upaya menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan IPTEK sebagai berikut :
• Mengembangkan dan membina kebudayaan Nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal, termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara.
• Memberantas secara sistematis perdagangan dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya kepada produsen, pengedar dan pemakai.
• Melindungi segenap generasi muda dari bahaya destruktif, terutama bahaya penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang dan narkotika lainnya melalui gerakan pemberantasan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya penyalahgunaan narkotika.
Membangun Masyarakat Indonesia Modern Sesuai Budaya Bangsa
Kemerdekaan memberikan kesempatan kepada bangsa kita untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dengan berpedoman pada Pancasila, bangsa Indonesia membangun masyarakat Indonesia modern sesuai budaya bangsa.
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya asing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, Bertakwa, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai IPTEK serta berdisiplin.
Dalam visi GBHN 1999 menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan menjadi ukuran segala upaya pemodernan masyarakat. Keberhasilan pembangunan senantiasa harus dinilai berdasarkan kenyataan sejauh mana proses dan juga hasil-hasil pembangunan telah mengangkat martabat manusia Indonesia. Martabat manusia hendaklah menjadi ukuran terhadap keberhasilan gerak pembangunan, namun ironisnya kadang-kadang atas nama modernitas pembangunan tidak jarang justru diwarnai dengan tindakan-tindakan yang tidak memanusiakan manusia, misalnya :
  Perlakuan sewenang-wenang terhadap buruh dan rakyat kecil
• Penggusuran permukiman penduduk secara paksa demi mendirikan bangunan prestisius.
• Tindak kekerasan
• Pencemaran lingkungan
• Penyelewengan pemanfaatan teknologi
• Upaya mendorong masyarakat bersikap materialistik dan hedonistic melalui berbagai iklim
Itulah kenyataan yang sebenarnya, terwujudnya masyarakat Indonesia yang modern dan manusiawi harus terus diperjuangkan. Dengan berbekal kemampuan IPTEK yang tangguh serta wawasan kemanusiaan yang luas kita siap menapaki era globalisasi dan kemajuan IPTEK menuju masyarakat Indonesia yang manusiawi.
Kehidupan yang Diharapkan dalam Pembangunan di Era Globalisasi
Kehidupan yang diharapkan dalam Era Globalisasi
Ketika pembangunan kita memasuki era globalisasi diperkirakan kita hidup dalam suasana penuh persaingan, perdagangan bebas, dan hubungan antar bangsa yang semakin terbuka. Untuk itu diperlukan persiapan yang matang dan memadai. Dengan demikian, gambaran kehidupan yang sesuai dengan era itu antara lain sebagai berikut :
• Kualitas sumberdaya manusia yang tinggi, antara lain tercermin dari kemampuan profesionalismenya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.
• Semakin handalnya sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari dalam negeri yang berarti semakin kecil ketergantungan pada sumber pembiayaan dari luar negeri.
• Kemampuan untuk memenuhi sendiri kebutuhan yang paling pokok agar tidak menimbulkan berbagai keraguan.
• Ketahanan ekonomi yang tangguh dan memiliki daya saing tinggi.
• Etos kerja dan disiplin masyarakat yang tinggi.
Selain itu, perlu diperhatikan juga situasi internasional. Baik situasi politik, ekonomi, maupun keamanan. Karena hal itu akan dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan kita baik langsung ataupun tidak langsung. Dan pada akhirnya akan dapat mengganggu tercapainya sasaran pembangunan nasional.
1.     Perobahan peradaban.Ada satu ungkapan yang perlu disimak bahwa “hampir setiap orang senantiasa mengamati dan mencermati perubahan cepat peradaban dunia ini, tetapi hanya sedikit diantara mereka yang memperhatikan perubahan pada dirinya sendiri”. “Every body thing of the world change, but they never mind of theirs own changes”.
Berbicara tentang Nasionalisme tentu tidak terlepas dengan hal ikhwal yang berkaitan dengan jati diri bangsa itu sendiri. Faham tentang kebangsaan secara ideologis akan mengikat komunitas suatu masyarakat yang membangsa dan menegara dengan ciri-ciri dan identitas khas bangsa tersebut. Jati diri ke-Indonesiaan itu harus dipertahankan sebagai nilai-nilai budaya dan peradaban yang bersumber dari tanah air sendiri yang membuat bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang mudah terapung diatas gelombang arus dan buihnya perubahan dunia.
Banyak pakar menilai bahwa globalisasi itu adalah suatu proses yang misterius, bahkan teka-teki yang dapat memancing diskusi berkepanjangan. Prof. George Lodge dari Harvard Business School menilai “tidak satupun pakar didunia ini mampu memprediksi arah globalisasi, kecuali ia utusan dari langit”.
Bagaimana tidak misterius bila suatu bangsa selalu mendapat kejutan peristiwa yang berdampak luas baik dalam lingkungan lokal, regional maupun internasional.
Mungkin kita terkejut beberapa waktu lalu para buruh pabrik produk elektronik Sony di Jakarta mendadak terkena PHK dan kemudian perusahaan itu hengkang (relokasi industrinya) ke luar Indonesia. Di bagian lain sekian banyak karyawan PT. Indosat berdemo karena sebagian besar saham Indosat dijual kepada Perusahaan Singapura. Begitu pula soal pencabutan subsidi BBM, melonjaknya harga minyak mentah dunia, mahalnya “power supply” listrik, dan lain-lain menjadi lebih menyedihkan. Peristiwa aktual penyerangan AS dan Inggris ke Irak, rencana “preemtive strike” Jepang kepada silo-silo rudal di Korea Utara, membuat peristiwa demi peristiwa silih berganti dan mengejutkan dunia. Semua itu adalah fenomena sosial maupun politik yang terus berubah, baik di lingkungan dekat kita maupun yang jauh disana.
Fenomena sosial yang mencuat yakni tumbuhnya sifat inter-koneksitas, inter-dependensi antar bangsa dan sifat-sifat saling mempengaruhi kian lama makin menguat. Tidak bisa dalam suatu peristiwa maupun tragedi hanya dirasakan bangsa sendiri, paling tidak akan terjadi transparansi dan dengan wahana multi media, maka tersebarlah peristiwa itu ke seluruh pelosok dunia.
Dikatakan teka-teki karena sukar diprediksi. Berbagai antisipasi yang dilakukan suatu bangsa menghadapi perkembangan politik, ekonomi, budaya dan keamanan cenderung meleset. Isu sentral tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup yang dulu dipelopori oleh bangsa-bangsa barat/Eropa dengan menempatkan dirinya seolah-olah sebagai negara maju, kampiun HAM dan demokrasi, ternyata di awal abad 21 ini semuanya memudar dan diingkari sendiri. Contoh aktual adalah serangan AS – Inggris dan sekutunya yang memerangi Irak, yang cenderung tidak mengenal batas-batas perikemanusiaan.
Invasi AS dan sekutunya ke Irak, sama sekali tidak berlandaskan hukum internasional (ilegal) tidak mematuhi seruan PBB, tidak mendengar unjuk rasa dan demonstrasi di berbagai belahan bumi ini, yang menentang agresinya ke Irak. Sebagai pertanda bahwa adikuasa telah merasa “hyper power” yang menerapkan hukum rimba dengan leluasa, tidak lagi memperhatikan dan menghormati HAM dan menghancurkan negara berdaulat. Pada sisi lain terjadi “ironi demokratisasi” sementara orang berpikir dan berharap banyak tentang nuansa demokrasi yang serba sehat, bebas dan dijamin hak asasinya, tetapi nyatanya tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera dan tenteram hidupnya.
Para pengamat politik mengartikulasikan demokrasi, ada dua konotasi, pertama bahwa demokrasi sebagai suatu sistem yang menjamin kebebasan lewat berbagai mekanisme politik, dan kedua, demokrasi sebagai budaya politik yang berdasarkan pada kehidupan plural (pluralisme) (Kompas, 01 April 2003). Demokrasi sebagai suatu sistem kehidupan didalam masyarakat dijamin keleluasaannya untuk mengekspresikan kepentingan. Pada kalimat terakhir itulah yang kemudian berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar daripada kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/partai, mereka rela menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk memperbesar cengkeramannya pada upaya penguasaan bangsa. Pada kenyataannya kepentingan rakyat dan kepentingan Nasional justru diabaikan pada hal mereka itu adalah konstituen yang harusnya mendapat perhatian dan kesejahteraan.
2.    Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia.
Dari aspek ideologi, Pancasila yang merupakan “way of life” bangsa Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius, bukan saja orang enggan bicara tentang Pancasila, tetapi justru nilai-nilai yang terkandung didalamnya nyaris tidak lagi dihayati dan diamalkan. Mungkin hal ini adalah akibat dan sikap traumatis dari pengalaman masa lalu, atau dapat pula karena terlahir generasi baru yang telah menganggap bahwa Pancasila sudah tidak bermakna lagi.
Distorsi pemahaman dan implementasi yang terjadi saat ini, dapat kita amati fenomenanya antara lain :
• Terjadinya kemerosotan (dekadensi) moral, watak, mental dan perilaku/ etika hidup bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda.
• Gaya hidup yang Hedonistik, materialistik konsumtif dan cenderung melahirkan sifat ketamakan atau keserakahan, serta mengarah pada sifat dan sikap individualistik.
• Timbulnya gejala politik yang berorientasi kepada kekuatan, kekuasaan dan kekerasan, sehingga hukum sulit ditegakkan.
• Persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, beda pendapat yang berujung bermusuhan, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung anarkhis.
• Birokrasi pemerintahan terlihat semakin arogan berlebihan, cenderung KKN dan sukar menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat. Pemberan-tasan korupsi yang berakar pada birokrasi ini yang terasakan amat sulit karena telah membudaya.
Perkembangan sistem politik di Indonesia menunjukkan tatanan yang makin amburadul, walaupun orang berkilah karena dianggap masih masa transisi, sehingga apapun yang terjadi di tengah masyarakat ini dianggap pula wajar. Tetapi sebenarnya sistem politik kita cenderung mengarah kepada ketidak serasian dan perpecahan bangsa. Pengertian kedaulatan di tangan rakyat makin disalah artikan, sehingga tumbuh menjamurnya berbagai partai politik yang pernah tercatat hingga lebih dari 100 partai akan menyulitkan untuk melaksanakan Pemilu. Kepemimpinan nasional yang kurang berwibawa dalam menghadapi masalah-masalah besar, ditambah pula kondisi birokrasi pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, menjadikan keberadaan pemerintah menghadapi cercaan masyarakat. Dinilai tidak mampu mengendalikan mekanisme kerja jajarannya dan mungkin pada gilirannya nanti bisa menjadi “lumpuh”. Budaya politik yang melahirkan primordialisme sempit dan khususnya bagi partai yang berkuasa hanya berorientasi pada kekuasaan dan pemaksaan kehendak, maka mereka tidak pernah lagi memikirkan nasib rakyat secara keseluruhan. Selama lima tahun berkuasa dapat diamati bahwa kemakmuran dan kesejahteraan hanya ada pada partai yang berkuasa itu, sambil terus mengupayakan agar bagaimana dapat memenangkan Pemilu berikutnya dan merebut kekuasaan lagi.
Pada aspek ekonomi, boleh disoroti bahwa selama “era reformasi” ini apakah pemerintah telah mampu meletakkan dasar-dasar dan landasan pembangunan ekonomi yang kuat ? Dengan masih dirasakan terjadinya fluktuasi moneter, tidak adanya tambahan investasi, kecilnya minat asing untuk menanamkan modal di Indonesia dan belum bangkitnya sektor riil, akan semakin mempersempit peluang kerja, meluasnya gejala PHK, tidak tertampungnya angkatan kerja baru dan lengkap sudah kemiskinan, pengangguran dan kebodohan menimpa rakyat kita.
Kecenderungan akselerasi perekonomian global yang bebas menembus batas negara, melalui banjirnya produk, jasa, dana dan informasi ke berbagai pelosok dunia, menjadikan Indonesia hanya sebagai sasaran dan arena pemasaran. Sementara produk dalam negeri mengalami kelesuan sulit menembus pasar di luar negeri. Produk-produk luar negeri dengan kualitas yang baik dan harga yang relatif murah, terus masuk dengan dilandasi komitmen “free trade”. Kondisi ekonomi yang melanda Indonesia saat ini juga disebabkan oleh iklim politik, penegakan hukum, dan keamanan yang tidak menunjang. Stabilitas nasional selalu terganggu, keamanan usaha tidak terlindungi, akibatnya produktivitas anjlok.
Pada bagian lain, terutama aspek sosial budaya dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada bidang komunikasi, transportasi dan informasi telah merubah paradigma sosial begitu cepat, khususnya aspek budaya. Meluasnya masyarakat majemuk yang sangat heterogen, baik dari segi suku, agama, adat istiadat, kebiasaan dan perilakunya. Walaupun ada segi positifnya, namun tidak sedikit akibat negatif yang ditimbulkan. Kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia, sulitnya orang mencari keadilan, kriminalitas yang berkadar tinggi, serta kebringasan sosial yang seringkali sulit dikendalikan semua itu menunjukkan bahwa kita belum mampu mengendalikan perobahan tersebut. Perobahan sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa yang akan datang kemajemukan itu ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka berprestasi.
Pembangunan pendidikan di semua strata/level belum menghasilkan lulusan yang optimal baik dari segi penguasaan ilmu dan keterampilan maupun budi pekerti mereka. Polemik yang berkembang sekarang adalah soal anggaran pembangunan pendidikan yang terlalu kecil. Minimnya sarana, prasarana dan degradasi kualitas tenaga pengajar. Belum lagi perobahan kurikulum dan tentang kesejahteraan guru atau dosen.
Di bidang keamanan, masih sangat memprihatinkan. Sebagai “limbah” dari berbagai permasalahan hidup, maka derajat kriminalitas sekarang ini sangat “menakutkan”, mengganggu ketentraman dan kenyamanan hidup bermasyarakat. Kasus-kasus kriminal yang berkembang saat ini justru sudah tidak lagi memperhatikan hak asasi manusia dan naluri kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan oleh manusia sudah tidak seuai dengan harkat kemanusiaan itu sendiri.
3.    Esensi Nasionalisme Indonesia yang harus Dipertahankan.
Sesungguhnya nilai-nilai nasionalisme (faham tentang kebangsaan) itu bersumber dari sosio-kultural bangsa dan bumi Indonesia. Sekalipun akan mengalami interaksi dengan dunia luar dalam era globalisasi, tetapi hakekatnya tidak boleh berubah. Seperti halnya nilai-nilai Pancasila sebagai esensi pertama, secara intrinsik tidak akan berubah, apalagi hal itu memiliki nilai-nilai mendasar dan sebagai “way of life” bangsa Indonesia, serta sebagai dasar Negara Republik Indonesia akan tetap dapat dipertahankan. Sekalipun saat ini mengalami pasang surut dan mungkin sedikit “memudar” sifatnya tentu sementara.
Esensi kedua adalah UUD’ 45 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, akan tetap menjadi kaidah utama. Kita sadari dan di implementasi-kan bahwa untuk menata negara dan masyarakat diperlukan berbagai undang-undang dan peraturan yang tentunya harus bersumber pada Undang-Undang Dasar ini. Faham kebangsaan kita menyadari dengan sepenuhnya, bahwa semua tata kehidupan bangsa, harus telah tertuang dan teratur didalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar tersebut. Hal ini sekaligus merupakan komitmen kita bersama dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.
Esensi ketiga adalah Rasa cinta tanah air dan rela berkorban. Sebagai bangsa yang merdeka karena perjuangan melawan penjajah dan telah mengorbankan jiwa raga beribu-ribu pahlawan bangsa, maka rasa kebangsaan kita harus dilandasi oleh tekad dan semangat terus berupaya mencintai tanah air Indonesia dengan segala isi yang terkandung didalamnya sepanjang masa. Karena hanya dengan rasa cinta tanah air, bangsa ini akan tetap utuh dan akan rela berkorban pula bagi kejayaan bangsa dan Negaranya. Sekalipun “hujan emas” di negeri orang tentu tidak seindah hidup di negeri sendiri, walaupun serba menghadapi kesulitan dan kemiskinan.
Esensi keempat adalah rasa persatuan dan kesatuan bangsa didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini yang sekarang terkoyak-koyak dan nyaris menghadapi disintegrasi. Pengaruh globalisasi sangat besar, eforia-reformasi, telah membuat bangsa Indonesia hampir-hampir kehilangan arah dan tujuan. Ide sparatisme dan upaya-upaya memisahkan diri dari NKRI oleh beberapa daerah, adalah contoh nyata yang perlu kita cegah. Kalau ide tersebut dibiarkan berkembang maka Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami ancaman yang serius. Sudah tentu hal tersebut mengingkari akar nilai-nilai persatuan dan kesatuan, yang telah dirintis oleh para pendahulu Republik ini.
Esensi kelima tentang wawasan kebangsaan yang bersumber dari wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional hendaknya terus dapat melekat pada hati dan dihayati sepenuhnya oleh warga Negara Indonesia, sehingga tertanam pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang sarwa Nusantara, merangkul semua kepentingan dan mengarahkan pada cita-cita dan tujuan pembangunan Nasional.
Yang terakhir adalah disiplin nasional. Bangsa yang ingin maju dan mandiri harus memiliki disiplin nasional yang tinggi. Nasionalisme berakar pula pada budaya disiplin bangsa tersebut. Justru antara disiplin nasional dan nasionalisme, merupakan dua sisi mata uang yang saling berpengaruh. Makna dan esensi disiplin nasional akan terlihat pada disiplin para penyelenggara Negara, tertib dan lancarnya pelayanan masyarakat, serta dalam berbagai kehidupan sehari-hari.
4.    Bagaimana Memupuk Nasionalisme di tengah-tengah Gelombang Pengaruh Globalisasi ?
Upaya memupuk nasionalisme agar tidak rentan, mudah pudar dan bahkan terkikis habis dari “dada bangsa Indonesia” tentu perlu keseriusan dan optimisme. Ada sasanti di beberapa lembaga pendidikan yang mungkin pernah kita dengar atau dilihat, bahwa dalam rangka kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa, hendaknya terus dimantapkan “dwi warnapurwa – cendekia wusana”. Secara sepintas inti maksudnya adalah untuk menciptakan kader-kader pemimpin bangsa ini, agar memiliki rasa dan jiwa nasionalisme yang tinggi dan serta berpikir cerdas dan patriotik. Merah putih lebih dulu, baru kecakapan intelektualitas dan kecendikiawanan yang tinggi untuk melengkapinya. Tidak kita inginkan dimasa datang banyak pemimpin kita cakap dan cerdas tetapi tidak memiliki jiwa kejuangan atau mentalnya lemah. Walaupun pengaruh globalisasi “mendera” dan “melarutkan” apa saja yang ada dimuka bumi ini, tentu tidak boleh larut dan tersapu semua nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme tersebut. Oleh sebab itu yang perlu dipupuk pada dasarnya adalah jati diri Bangsa Indonesia. Beberapa esensi jatidiri antara lain :
a. Bangsa Indonesia Sebagai Bangsa Pejuang dan Anti Penjajah.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, telah menjadi pelajaran dan melegitimasi citra Bangsa Indonesia, dimata dunia, bahwa Bangsa Indonesia akan tetap dikenal sebagai bangsa yang anti penjajah dan rela berkorban bagi kejayaan bangsanya. Semangat ini dipupuk terus dengan penerusan implementasi nilai-nilai, melalui wahana pendidikan di berbagai strata bagi generasi penerus bangsa.
Tidak boleh bosan-bosan menanamkan sikap anti penjajah ini bagi generasi muda, karena di pundak merekalah masa depan bangsa ini akan kita wariskan.
b. Bangsa Indonesia Cinta damai dan Lebih Cinta Kemerdekaan.
Dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa terus menggalang persatuan dunia menuju pada tata kehidupan dunia yang lebih damai dan sejahtera. Itulah jati diri Bangsa Indonesia sebagai lambang Nasionalisme dan sekaligus Internasionalisme sebagai bangsa yang aktif dan turut serta untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi.
Di dalam situasi seperti sekarang ini dimana dunia sedang “terancam perang” di berbagai belahan benua, maka di pandang perlu Indonesia tampil dan memelopori usaha-usaha perdamaian melalui berbagai forum Internasional bersama-sama bangsa lain yang sejalan.
c. Sebagai Bangsa Indonesia yang Berbudaya Luhur ramah dan bersahabat.
Keluhuran budaya Indonesia terletak pada karakter dan citra bangsa yang ramah dan bersahabat. Karena kita anti penjajah dan cinta perdamaian, maka memupuk pesahabatan antar bangsa menjadi motivasi dan langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikan cita-cita perdamaian. Budaya demikian itu terus di pupuk, di kembangkan dan dipromosikan ke semua bangsa di dunia ini, agar keberadaan Indonesia dan perannya dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia.
Budaya Nasional yang merupakan akumulasi dari puncak-puncak budaya daerah, hendaknya terus dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya. Hanya bangsa yang bisa mempertahankan jati diri dan budaya Nasionalnya yang akan bisa menjadi bangsa yang besar.
d. Kesetaraan dan Kemandirian Perlu Dipupuk Terus Untuk Mengejar Ketinggalan.
Martabat Bangsa Indonesia adalah ingin setara/sejajar dengan bangsa-bangsa lain, oleh karena itu upaya untuk mengejar kemajuan dan kemandirian adalah suatu tekad dan semangat yang tidak boleh terputus sekalipun menghadapi berbagai kendala. Persaingan antar bangsa akan semakin terlihat pada persaingan kualitas sumber daya manusianya dan bukan saja pada sumber daya alamnya.
Selain hal-hal normatif dan mendasar yang masih menuntut aktualisasi dan representasi tersebut, terdapat juga komitmen dan tekad baru yang kini tampak sebagai “trend” dan fenomena cemerlang untuk memelihara nasionalisme.
Pertama, keunggulan kompetitif sumber daya manusia (SDM). Sebenarnya tidak kurang bibit unggul dan kader potensial dari putra-putri Indonesia yang kelak diharapkan dapat menjadi patriot-patriot pembangunan dan mampu membawa Indonesia ke pintu gerbang kegemilangan dan kejayaan. Berbagai sekolah unggulan dan lulusan pendidikan di dalam maupun di luar negeri terbukti cukup apresiatif dan bahkan telah mampu menjuarai berbagai olympiade sains dan teknologi. Putra-putri seperti inilah yang bisa membagi kebanggaan. Tidak sedikit manager muda berbakat pada lembaga pemerintah ataupun swasta dengan menampilkan kepiawaian manajemen. Hal ini tentu dapat memberikan semangat kepada generasi baru yang akan datang lebih dapat memacu diri untuk berprestasi dan bangga akan teman-teman sebangsanya.
Kedua, Pluralitas yang menghasilkan sinergisme. Kemajemukan bangsa Indonesia yang kian hari kian terbentuk secara alami dan menuju pada sikap inklusif dari berbagai suku agama, ras dan golongan, akan terus berkembang pesat dan bahkan tak mungkin dihambat. Kecenderungan masa kini dan dimasa yang akan datang integrasi bangsa Indonesia tidak lagi terfocus pada faktor suku, agama, ras dan golongan tersebut, tetapi lebih mengarah pada integrasi dan sinergi yang lebih maju, yakni berkaitan dengan peran, fungsi dan profesi orang per orang maupun dalam hubungan kelompok. Dimasa yang akan datang orang tidak lagi bertanya “kamu dari mana, suku apa, dan agamanya apa ?” tetapi lebih banyak pada pertanyaan “kamu memiliki kemampuan dan skill” apa atau keahlian dan profesi apa, yang bisa di ajak bekerja sama untuk menghasilkan suatu karya. Disini akan tersirat sikap dan sifat-sifat saling memberi dan saling menerima segala macam perbedaan yang pada muaranya akan dapat melahirkan rasa bangga dan nasionalisme yang luas.
Ketiga, semangat tidak kenal menyerah dan tahan uji. Ada berbagai ungkapan dan perasaan sebagian besar bangsa Indonesia yang tetap tahan uji dan cukup membanggakan. Berbagai musibah bencana dan malapetaka terus datang silih berganti, seperti yang kita rasakan datangnya “tsunami”, tanah longsor, bencana banjir, flu burung, demam berdarah, busung lapar dan lain sebagainya namun tetap membuat kita tawakal dan berusaha untuk mengatasi secara bergotong royong baik antara Pemerintah dan lembaga resmi/tidak resmi maupun solidaritas antar masyarakat sendiri.
Begitu pula tatkala menghadapi “ancaman” negara lain dalam bentuk pelanggaran perbatasan, penyerobotan pulau, bahkan penghinaan oleh kelompok bangsa tertentu, ternyata kita tahan uji dan bahkan mampu membangkitkan semangat Nasionalisme yang tinggi untuk menghadapi semuanya.
Keempat, semangat demokrasi menjadi pilihan bersama. Era demokratisasi, sudah membangkitkan tekad dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat. Negara demokrasi sebagai pilihan tepat karena dari sinilah akan lahir bingkai-bingkai sehat, dimana orang-orang bersepakat dan bersama-sama dalam menentukan pilihan bersama. Dengan demikian tata kehidupan berdemokrasi inilah yang akan menjadi semangat baru dan semangat bersama generasi penerus bangsa Indonesia yang sekaligus akan menjadi semangat nasionalisme yang kental dalam era yang baru.
Kelima, semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam upaya desentralisasi kekuasaan kepada daerah-daerah dan memberikan otonomi yang luas kepada tiap-tiap daerah, akan melahirkan semangat kebebasan dan semangat kemandirian untuk membangun daerahnya masing-masing. Ada kompetisi didalamnya, tetapi juga tuntutan kreativitas di masing-masing daerah untuk lebih maju dan semakin dapat mensejahterakan masyarakatnya.
Disentralisasi tidak boleh mengarah pada federalisme apalagi memecah belah integrasi Nasional. Otonomi daerah juga tidak boleh mengarah kepada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu rambu-rambu untuk tetap dapat menjaga utuhnya NKRI harus difahami bersama dan didasari oleh semangat demokrasi, integralistik dan wawasan kebangsaan Indonesia yang lebih mendalam.
5.    Penutup.
Sebagai kesimpulan secara umum bahwa Nasionalisme bangsa Indonesia belum memudar, sekalipun saat ini didera oleh pengaruh globalisasi dan liberalisasi serta proses demokratisasi. Tantangan baru ini harus dihadapi dengan serius dan optimisme, bilamana tidak di pupuk kembali dan tidak mendapat dorongan semangat baru oleh para pemimpin bangsa ini, maka tidak mustahil faham tentang kebangsaan ini akan tersapu oleh peradaban baru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur sosio-kultural bangsa kita.
Hanya tekad dan semangat yang disertai usaha yang serius melalui wahana pendidikan akan dapat diharapkan mampu melestarikan semangat nasionalisme. Tidak salah kiranya bahwa perhatian para pemimpin, tokoh masyarakat, serta seluruh komponen kekuatan bangsa untuk bersama-sama membenahi sistem pendidikan nasional, agar mampu menghasilkan lulusan/hasil didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat membawa kemajuan dan kejayaan di era Indonesia baru.
Pada sisi lain sosialisasi nilai-nilai Intrinsik nasionalisme melalui berbagai lembaga dan masyarakat harus terus diupayakan. Karena generasi bangsa ini terus diperbarui oleh generasi baru yang menuntut pemahaman yang hakiki.

Nasionalisme Indonesia Dalam "Ancaman"?


MOMENTUM Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan
elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua factor yang sangat signifikan bagi investasi Indonesia.



Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia pasca kemerdekaan.
Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998.
Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks keindonesiaan.
Dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu.
Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi
perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis.
Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus
dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah,
dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah
saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu, yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.
Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut
dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa.

Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap
dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah. Sehingga muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah nasionalisme yang lebih baik.
Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah
tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.

Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme
sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu
berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak
masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan.
Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa,
termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang
menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.